AKHLAQ KEPADA RASULULLAH ﷺ

Image Source: https://news.detik.com/

A.

Memahami Keagungan Akhlaq Rasulullah ﷺ

Rasulullah ﷺ adalah pribadi luar biasa yang memiliki akhlaq sangat mulia dan patut ditiru oleh segenap umatnya. Perintah untuk meniru akhlaq Rasulullah ﷺ sampai Allah ﷻ gambarkan di dalam Al Qur’an:

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab:21)

Sejarah tak akan mampu mengingkari betapa indahnya akhlaq dan budi pekerti Rasulullah ﷺ tercinta. Sayyidatina Aisyah Rodhiyallahu anha mengatakan bahwa akhlaq Rasulullah ﷺ adalah “Al Qur’an”. Tidak satu perkataan Rasulullah ﷺ merupakan implementasi dari hawa nafsu beliau, melainkan adalah berasal dari wahyu ilahi. Begitu halus dan lembutnya perilaku keseharian beliau. Rasulullah ﷺ adalah sosok yang mandiri dengan sifat tawadhu’ yang tiada tandingnya.

‘Aidh Abdullah Al-Qarni juga mengatakan: “Kesuksesan luar biasa besar ditorehkan Rasulullah ﷺ tidak terlepas dari kisah sukses beliau dalam memerankan diri sebagai sosok manusia yang berakhlaq mulia (akhlaq al-karimah). Akhlaq inilah yang mengawali tugas-tugas mulia yang dibebankan Tuhan kepadanya”.[1]

Michael Heart juga memosisikan Nabi Muhammad ﷺ pada posisi pertama dalam karyanya “Seratus Tokoh Berpengaruh dalam Sejarah”. Michael Heart mengatakan: “Muhammad adalah satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih kesuksesan luar biasa, baik dalam soal agama maupun soal dunia”.[2]

Annie Besant, seorang teosof Inggris, juga menuturkan: “Setiap kali saya membaca ulang tentang dia (Muhammad), saya sendiri merasakan kekaguman yang baru, menimbulkan rasa hormat yang baru kepada Guru Bangsa Arab yang agung itu”.

Begitulah ungkapan-ungkapan pujian yang dilontarkan beberapa tokoh dunia. Tidak hanya muslim, bahkan di kalangan non-muslim pun secara jujur mengakui keagungan dan kemuliaan akhlaq Rasulullah ﷺ. Tentu, di luar sana masih sangat banyak yang mengagumi sosok agung itu.

Beliau pernah menjahit sendiri pakaiannya yang koyak tanpa harus menyuruh istrinya. Dalam berkeluarga, beliau adalah sosok yang ringan tangan dan tidak segan-segan untuk membantu pekerjaan istrinya di dapur. Selain itu dikisahkan bahwa beliau tiada merasa canggung makan disamping seorang tua yang penuh kudis, kotor lagi miskin. Beliau adalah sosok yang paling sabar dimana ketika itu pernah kain beliau ditarik oleh seorang badui hingga membekas merah dilehernya, namun beliau hanya diam dan tidak marah.

Dalam satu riwayat dikisahkan bahwa ketika beliau mengimami shalat berjamaah, para sahabat mendapati seolah-olah setiap beliau berpindah rukun terasa susah sekali dan terdengar bunyi yang aneh. Seusai sholat, salah seorang sahabat, Sayyidina Umar bin Khatthab bertanya, “Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah baginda menanggung penderitaan yang amat berat. Sedang sakitkah engkau ya Rasulullah? “Tidak ya Umar. Alhamdulillah aku sehat dan segar.” Jawab Rasulullah. “Ya Rasulullah, mengapa setiap kali Baginda menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi-sendi tubuh baginda saling bergesekkan? Kami yakin baginda sedang sakit”. Desak Sayyidina Umar penuh cemas.

Akhirnya, Rasulullah ﷺ pun mengangkat jubahnya. Para sahabat pun terkejut ketika mendapati perut Rasulullah ﷺ yang kempis tengah dililit oleh sehelai kain yang berisi batu kerikil sebagai penahan rasa lapar. Ternyata, batu-batu kerikil itulah yang menimbulkan bunyi aneh setiap kali tubuh Rasulullah ﷺ bergerak. Para sahabat pun berkata, “Ya Rasulullah, adakah bila baginda menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya untuk tuan?”. Baginda Rasulullah ﷺ pun menjawab dengan lembut, “Tidak para sahabatku. Aku tahu, apapun akan kalian korbankan demi Rasulmu. Tetapi, apa jawabanku nanti dihadapan Allah, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban bagi umatnya? Biarlah rasa lapar ini sebagai hadiah dari Allah buatku, agar kelak umatku tak ada yang kelaparan di dunia ini, lebih-lebih di akhirat nanti.

Teramat agung pribadi Rasulullah ﷺ sehingga para sahabat yang ditanya oleh seorang badui tentang akhlak beliau ﷺ hanya mampu menangis karena tak sanggup untuk menggambarkan betapa mulia akhlaq beliau ﷺ. Beliau diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlaq manusia dan sebagai suri tauladan yang baik sepanjang zaman. Sebagaimana beliau pernah bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq.” (HR Al-Baihaqi).

Referensi
[1] ‘Aidh Abdullah Al-Qarni, Al Qur’an Berjalan, Bogor: Sahara Publisher, 2004.
[2] Michael H. Heart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh Di Dunia, Jakarta: Noura Publishing, 2019.

B.

Mencintai Rasulullah ﷺ dan Ahlul Bait Serta Membelanya Dari Pihak-Pihak Yang Melecehkannya

Sebagai Muslim kita harus menghormati sekaligus mencintai keluarga dan keturunan Rasulullah ﷺ yang disebut Ahlul Bait. Rasulullah memang mengimbau agar umatnya menghormati dan mencintai keluarga dan keturunannya. Hal ini karena Ahlul Bait memang memiliki kemuliaan tersendiri sebagai kerabat Rasulullah. Namun apabila diantara mereka ada yang menyimpang dari jalan leluhurnya, hendaklah ada yang menasihatinya.

 Imbauan seperti itu sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang ulama sekaligus habib yang merupakan dzurriah Rasulullah ﷺ asal Tarim Hadramaut Yaman, yakni Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad (1634-1720 M) dalam kitabnya berjudul Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyyah, sebagai berikut: 

لِأَهْلِ بَيْتِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَرَفٌ، وَلِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  بِهِمْ مَزِيْدٌ عِنَايَةٌ وَقَدْ أَكْثَرَ عَلَى أُمَّتِهِ مِنَ الوَصِيَّةِ بِهِمْ وَالحَثُّ عَلَى حُبِّهِمْ وَمَوَدَّتِهِمْ. وَبِذَالِكَ أَمْرُ اللهِ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ فِى قَوْلِهِ تَعَالَى: “قُلْ لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا المَوَدَّةَ فِى القُرْبَى” .(الشورى، ٢٣) ـ

Ahlul Bait memiliki kemuliaan tersendiri, dan Rasulullah telah menunjukkan perhatiannya yang besar kepada mereka. Beliau berulang-ulang berwasiat dan mengimbau agar umatnya mencintai dan menyayangi mereka. Dengan itu pula Allah subhanahu wataála telah memerintahkan di dalam Al Qur’an dengan firman-Nya: “Katakanlah wahai Muhammad, tiada aku minta suatu balasan melainkan kecintan kalian pada kerabatku. (QS 42:23).[3] Dari kutipan di atas dapat ditegaskan bahwa kaum Muslimin memang harus menghormati dan mencintai Ahlul Bait bukan saja karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah ﷺ, tetapi juga karena Allah telah memerintahkan kepada beliau untuk berseru kepada umatnya agar mencintai kerabat beliau. Dengan kata lain perintah untuk mencintai Ahlul Bait merupakan perintah dari Allah subhanahu wataála. Rasulullah sebagai pemimpin kaum Muslimin tidak meminta balasan apa pun dari umatnya kecuali kecintaan mereka kepada keluarga dan keturunan beliau.  Namun Sayyid Abdullah Al-Haddad mengingatkan agar dalam memberikan penghormatan dan kecintaan kepada Ahlul Bait, kaum Muslimin bersikap wajar dan tidak berlebih-lebihan. Hal ini sebagaimana ditegaskannya dalam kutipan berikut:

 فَعَلَى كَافَةِ المُسْلِمِيْنَ أَنْ يَعْتَقِدُوْا حُبِّهِمْ وَمَوَدَّتِهِمْ، وَأَنْ يُوَقِّرُوْهُمْ وَيُعَظِّمُوْهُمْ مِنْ غَيْرِ غُلُوٌّ وَلَا إِسْرَافٍ

Seluruh kaum Muslimin hendaknya memastikan kecintaan dan kasih sayang mereka kepada Ahlul Bait, serta menghormati dan memuliakan mereka secara wajar dan tidak berlebih-lebihan.[4] Terhadap Ahlul Bait yang menyimpang dari apa yang dicontohkan Rasulullah ﷺ, Sayyid Abdullah Al-Haddad mengimbau agar mereka tetap dihormati semata-mata karena mereka adalah kerabat Nabi Muhammmad ﷺ dengan tidak meninggalkan perlunya memberikan nasihat kepada mereka sebagaimana kutipan berikut: ana dikemukakan oleh salah seorang ulama sekaligus habib yang merupakan dzurriah Rasulullah ﷺ asal Tarim Hadramaut Yaman, yakni Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad (1634-1720 M) dalam kitabnya berjudul Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyyah, sebagai berikut:

وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ هَذَا البَيْتِ لَيْسَ عَلَى مِثْلِ طَرَائِقَ أَسْلَافِهِمُ الطَّاهِرِيْنَ، وَقَدْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ شَيْئٌ مِنَ التَّخْلِيْطِ لِغَلَبَةِ الجَهْلِ، فَيَنْبَغِى أَيْضًا أَنْ يُعَظِّمُوْا وَيَحْتَرِمُوْا لِقُرَابَتِهِمْ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَلَا يَدْعُوا المُتَأَهِّلُ لِلنَّصِيْحَةِ نُصْحِهِمْ وَحَثِّهِمْ عَلَى الأَخْذِ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ سَلَفِهِمُ الصَّالِحِ, مِنَ العِلْمِ وَالعَمَلُ الصَّالِحِ، وَالأَخْلَاقُ الحَسَنَةِ وَالسِّيْرُ المَرْضِيَّةِ.

Adapun mereka yang berasal dari keluarga dan keturunan Rasulullah ini yang tidak menempuh jalan leluhur mereka yang disucikan, lalu mencampur adukkan antara yang baik dan yang buruk disebabkan kejahilannya, seyogyanyalah mereka tetap dihormati semata-mata karena kekerabatan mereka dengan Nabi . Namun siapa saja yang memiliki keahlian atau kedudukan untuk memberi nasihat, hendaknya tidak segan-segan menasihati dan mendorong mereka kembali menempuh jalan hidup para pendahulu mereka yang saleh-saleh, yang berilmu dan beramal kebajikan, berakhlak terpuji dan berperilaku luhur.[5] Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa dalam masyarakat tidak tertutup kemungkinan ada dari Ahlul Bait yang berperilaku tidak sebagaimana dicontohkan para leluhurnya khususnya Rasulullah ﷺ. Kepada Ahlul Bait yang seperti itu Sayyid Abdullah Al-Haddad mengimbau agar siapa pun yang memiliki kepasitas keilmuan dan kewenangan untuk tidak segan-segan memberikan nasihat dengan tetap bersikap hormat dan cinta kepada mereka secara wajar.  Nasihat-nasihat yang hendaknya disampaikan kepada mereka adalah perlunya kembali menempuh jalan hidup sebagaimana para pendahulu yang berilmu dan beramal saleh serta berakhlak mulia sebagaimana dicontohkan Baginda Rasulullah ﷺ. Imbauan dari Sayyid Abdullah Al-Haddad ini sekaligus merupakan jawaban atas adanya sikap sebagian kaum Muslimin yang menganggap bahwa jika ada dari Ahli Bait yang melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari agama, mereka tidak perlu diingatkan karena menganggap Rasulullah sudah pasti akan memberinya syafaat di akhirat kelak.  Sayyid Abdullah Al-Haddad tidak setuju atas anggapan seperti itu sebagaimana kutipan berikut:

فَيَقُوْلُ هَؤُلَاءِ أَهْلُ بَيْتِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَسُوْلُ اللهِ شَفِيْعٌ لَهُمْ، وَلَعَلَّ الذُّنُوْبَ لَا تَضَرَّهُمْ، وَهَذَا قَوْلُ شَنِيْعٌ، يَضُرُّ القَائِلُ بِهِ نَفْسِهِ، وَيَضُرُّ بِهِ غَيْرِهِ مِنَ الجَاهِلِيْنَ، وَكَيْفَ يَقُوْلُ أَحَدٌ ذَالِكَ وَفِى كِتَابِ اللهِ العَزِيْزِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَهْلِ أَنَّ أَهْلَ البَيْتِ يُضَاعَفُ لَهُمُ الثَّوَابَ عَلَى الحَسَنَاتِ وَالعِقَابُ عَلَى السَّيِّئَاتِ

Ada yang mengatakan,”Biarlah, mereka adalah dari Ahlul Bait, Rasulullah pasti akan bersyafaat kepada mereka, dan mungkin pula dosa-dosa yang mereka lakukan tak akan menjadi mudarat atas mereka.” Sungguh ini adalah ucapan yang amat buruk, yang menimbulkan mudarat bagi si pembicara sendiri dan bagi orang-orang lainnya yang tergolong kaum jahil. Bagaimana bisa seseorang berkata seperti itu, sedangkan dalam Al-Qurán, Kitab Allah yang mulia terdapat petunjuk bahwa anggota keluarga Rasulullah dilipat gandakan bagi mereka pahala amal baiknya, demikian pula hukuman atas perbuatan buruknya. [6] Sangat jelas bahwa Sayyid Abdullah Al-Haddad tidak setuju terhadap anggapan bahwa orang-orang tertentu seperti Ahlul Bait memiliki kekebalan hukum atas hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah subhanahu wataála disebakan kemuliaan nasabnya yang bersambung kepada Rasulullah. Sayyid Abdullah Al-Haddad mengutip sebuah hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Hadits itu berisi peringatan kepada putri beliau bernama Sayyidah Fathimah agar tidak mengandalkan pembelaan dari ayahnya di hadapan Allah subhanu wa taála sebagai berikut:

يَا فَاطِمَةُ بِنْتُ مُمَد لَا أَغْنَى عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا.

Hai Fathimah binti Muhammad, sungguh aku takkan cukup sebagai pembelamu di hadapan Allah.[7]
Referensi
[3] Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad, Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyyah, Dar Al-Hawi, Cet. II, 1998. Hal. 89
[4] Ibid,. Hal. 89
[5] Ibid,. Hal. 90
[6] Ibid,. Hal. 88
[7] Ibid,. Hal. 87

C.

Keutamaan Mengikuti Sunnah-Sunnah Rasulullah ﷺ

Sesungguhnya nikmat Allâh Ta’ala kepada manusia sangat banyak. Diantara nikmat yang dianugerahkan itu ialah diutusnya Nabi Muhammad ﷺ kepada seluruh manusia. Yaitu untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dan Nabi ﷺ telah melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya, menasihati ummat, menunaikan amanah, dan menyampaikan risalah. Sehingga tidaklah Beliau ﷺ wafat, kecuali agama Islam telah sempurna, nyata, dan terang-benderang. Tidak ada yang menyimpang darinya kecuali pasti binasa. Sebagaimana firman Allah ﷻ:

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah:3)

Risalah Islam ini, kemudian diteruskan oleh generasi-generasi terbaik umat ini. Mereka menerima, mengamalkan, dan menyampaikan yang dibawa oleh Rasûlullâh ﷺ yang berupa Al Qur’ân dan As-Sunnah. Beliau ﷺ bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Aku telah tinggalkan pada kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (HR. Malik, Baihaqy)

Al Qur’ân, kitab suci yang tidak ada kebatilan di dalamnya semenjak diturunkan, karena memang dijaga oleh Allâh al-‘Aziz (Yang Maha Perkasa), al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui). Adapun as-Sunnah merupakan penjelasan bagi Al Qur’ân. Maka sepantasnya kita mensyukuri nikmat Allâh tersebut dengan cara mengikuti Sunnah Nabi Muhammad ﷺ dan sunnah para sahabatnya yang mulia.

Sunnah secara bahasa artinya jalan atau ajaran, meliputi jalan yang baik atau yang buruk. Sedangkan menurut istilah ulama, sunnah memiliki beberapa makna sebagai berikut:

  1. Menurut ulama ahli hadits, sunnah ialah semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ yang berupa qaul (perkataan), fi’il (perbuatan) dan taqrir (penetapan atau pengakuan). Istilah sunnah ini semakna dengan hadits.[8]
  2. Menurut istilah ulama ahli fiqh, sunnah ialah sesuatu yang diperintahkan syari’at dengan perintah yang tidak wajib, sehingga pelakunya mendapatkan pahala dan Ketika meninggalkannya tidak mendapatkan siksa. Sunnah dalam istilah ahli fiqh ini semakna dengan mustahab mandub, tathawwu’ atau nafilah. Kebalikannya adalah wajib atau fardhu.[9]
  3. Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata, “Sunnah adalah jalan yang dilewati, dan hal itu mencakup berpegang teguh dengan petunjuk Nabi ﷺ dan para Khulafaur Rasyidin, yang berupa keyakinan, amal perbuatan, dan perkataan. Inilah Sunnah yang sempurna”.[10]

Sunnah begitu erat kaitannya dengan ibadah karena seorang muslim harus beribadah sesuai petunjuk sunnah yang mulia, karena kedudukan sunnah dalam pembinaan hukum Islam dan pengaruhnya dalam kehidupan kaum muslimin mulai dari masa Rasulullah ﷺ, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, Tabi’in, Tabiut Tabi’in dan generasi sesudahnya sampai hari ini merupakan suatu kenyataan yang diterima kebenarannya dan tidak diragukan lagi kebenarannya. Mereka adalah ahlus sunnah wal jama’ah yang selalu istiqomah mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ. Mereka adalah orang-orang yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yaitu: “Ahlus sunnah adalah umat Islam yang bersih dan sebaik-baik manusia bagi manusia yang lainnya”.[11]

Umat Islam telah bersepakat tentang wajibnya beramal sesuai dengan sunnah Rasulullah ﷺ , bahkan yang demikian termasuk memenuhi seruan Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Kaum muslimin menerima sunnah sebagaimana mereka menerima Al Qur’an, karena sunnah merupakan sumber tasyri’ (ketentuan hukum) yang disaksikan Allah. Kaum muslimin sejak sahabat radhiyallahu ‘anhum, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan generasi sesudahnya sampai hari ini mereka selalu mengembalikan setiap persoalan agama kepada Al Qur’an dan sunnah, berpegang teguh dengannya dan menjaga dengan cara mengamalkannya.[12]

Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak sekali amalan-amalan sunnah yang terlupakan. Contohnya saja: ketika bersin disunnahkan mengucapkan “Alhamdulillah”, dan orang yang mendengarkannya agar mendo’kan dengan ucapan “Yarhamukallah”, dan orang yang bersin tadi membalasnya dengan ucapannya “Yahdikumullah”. Inilah kemuliaan dan keindahan yang didapatkan seorang muslim dikala dia mengetahui dan dapat mengamalkan sunnah.[13]

Di zaman sekarang ini, kaum muslimin terlena dengan beragam pemahaman, kelompok-kelompok, golongan dan ikatan-ikatan lainnya, sehingga orang yang mengamalkan sunnah dianggap aneh dan terasing ditengah-tengahvumat. Mereka dicemooh, dicela, dihina, dijauhi bahkan sampai ditentang oleh segelintir orang yang belum memahami hakikat sunnah. Umat Islam yang tetap tegar dan istiqomah dalam sunnah seolah-olah sedang memegang bara api yang sangat panas. Namun Allah ﷻ telah menjanjikan pahala yang sangat besar bagi mereka yang tetap istiqomah di jalan sunnah Rasulallah ﷺ. Berbicara tentang keutamaan mengikuti sunnah Rasulallah ﷺ, berarti berbicara tentang Islam dengan seluruh syari’at, hikmah dan adabnya yang sangat mulia, sebab sunnah merupakan perwujudan Islam yang haq yang sesuai tuntunan Al Qur’an. Allah ﷻ berfirman:

وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٨٥ كَيۡفَ يَهۡدِي ٱللَّهُ قَوۡمٗا كَفَرُواْ بَعۡدَ إِيمَٰنِهِمۡ وَشَهِدُوٓاْ أَنَّ ٱلرَّسُولَ حَقّٞ وَجَآءَهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُۚ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٨٦ أُوْلَٰٓئِكَ جَزَآؤُهُمۡ أَنَّ عَلَيۡهِمۡ لَعۡنَةَ ٱللَّهِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلنَّاسِ أَجۡمَعِينَ ٨٧ خَٰلِدِينَ فِيهَا لَا يُخَفَّفُ عَنۡهُمُ ٱلۡعَذَابُ وَلَا هُمۡ يُنظَرُونَ ٨٨ إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ مِنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَ وَأَصۡلَحُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ٨٩

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. Mereka itu, balasannya ialah: bahwasanya laknat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) laknat para malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh. Kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Imran:85-89)

Dalam menjalankan ajaran agama Islam, kaum muslimin diharuskan untuk mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ. Karena itu, terdapat banyak keutamaan dalam mengikuti dan berpegang teguh pada sunnah Rasulullah ﷺ, diantaranya:

Referensi
[8] Syaikh Tsanaullah Az-Zahidi, Al-Fushul fî Mushthalah Haditsir Rasul.Hal. 3
[9] Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi, Mudzakkirah Ushulil-Fiqih. Hal. 4
[10] Ibnu Rajab Al-Hanbali, Jami'ul 'Ulum wal Hikam fi Syarhi Khamsiina Haditsan min Jawami'il kalim, Beirut: Darul-Ma’rifah, cet. 1, th. 1408 H, Hal. 263
[11] Muhammad Abdul Hadi Al-Misri, Manhaj dan Aqidah Ahlussunah wal Jam’ah, Jakarta: Gema Insani Press, Hal. 12
[12] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Kedudukan Sunnah Dalam Syari’at Islam, Bogor: Pustaka A-Taqwa, 2009. Hal. 48
[13] Nunung Nurseni, Amalan Sunnah Sehari-hari Rasulullah SAW, Jakarta: Istanbul, 2016. Hal. 272

1.

Menunjukkan bukti kecintaan kepada Allah

Sebagaimana firman Allah:

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١ قُلۡ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَۖ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٣٢

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. Al-Imran:31-32)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata berkenaan dengan tafsir ayat ini: “Ayat yang mulia ini sebagai hakim terhadap semua orang yang mengaku mencintai Allâh, akan tetapi ia tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad ﷺ; maka sesungguhnya ia pendusta dalam pengakuannya itu, hingga ia mengikuti syari’at dan agama Nabi Muhammad ﷺ dalam seluruh perkataan dan keadaannya, sebagaimana terdapat dalam kitab Shahîh, dari Rasûlullâh ﷺ bahwa beliau bersabda:

 مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya, maka amalan itu tertolak. (HR. Bukhari dan Muslim).[14]

Referensi
[14] Imam Al-Hafidz ‘Imadiddin Abi Al-Fidaa Ismail Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al Qur’an Al-‘Adzim, Mesir: Dar ‘Alamiyyah, 2017. Hal. 306

2.

Menunjukkan bukti kecintaan kepada Rasulullah .

Seseorang tidak menjadi orang beriman yang sempurna hingga ia mencintai Nabi Muhammad ﷺ lebih daripada seluruh manusia. Rasûlullâh ﷺ bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Tidaklah beriman –dengan keimanan yang sempurna- salah seorang dari kamu sehingga aku menjadi yang paling ia cintai daripada bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia. [HR Bukhâri, no. 15; Muslim, no. 44, dari Anas bin Malik].

Jika seseorang mencintai Nabi Muhammad ﷺ lebih daripada seluruh manusia, maka ia akan mengikuti petunjuk beliau dan lebih mengutamakannya daripada petunjuk siapa pun dari kalangan manusia. Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah: “Ketahuilah, bahwa seseorang yang mencintai sesuatu, ia akan mengutamakannya dan mengutamakan kecocokan dengannya. Jika tidak, maka ia tidak benar dalam kecintaannya, dan ia (hanya) orang yang mengaku-ngaku saja. Maka orang yang benar dalam kecintaannya kepada Nabi ﷺ ialah orang yang nampak darinya tanda-tanda tersebut. Pertama dari tanda-tanda itu ialah meneladani Nabi ﷺ, mengamalkan sunnahnya (ajarannya), mengikuti perkataan dan perbuatannya dan beradab dengan adab-adabnya, (baik) pada saat kesusahan maupun kemudahan, pada waktu senang maupun benci”.[15]

Referensi
[15] Abdul Aziz bin Muhammad Abdul Lathif, Abhats fil I’tiqad, Riyadh, Dar Al-Wathn, 2007. Hal. 37

3.

Menjadi Faktor Yang Menyelamatkan Dari Berbagai Keburukan

Sesungguhnya Allah telah memberikan ancaman keras terhadap orang-orang yang menyelisihi perintah Rasulullah ﷺ, maka jalan keselamatan dari ancaman itu ialah mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ. Allah ﷻ berfirman:

لَّا تَجۡعَلُواْ دُعَآءَ ٱلرَّسُولِ بَيۡنَكُمۡ كَدُعَآءِ بَعۡضِكُم بَعۡضٗاۚ قَدۡ يَعۡلَمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمۡ لِوَاذٗاۚ فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٦٣

Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An-Nur:63)

Imam Ibnu Katsir rahimahullâh berkata: “Firman-Nya (Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya), yaitu perintah Rasul ﷺ, yaitu jalan, ajaran, Sunnah, dan syari’at beliau. Sehingga seluruh perkataan dan perbuatan (manusia) ditimbang dengan perkataan dan perbuatan beliau. Yang sesuai dengan itu diterima, dan yang menyelisihinya dikembalikan kepada orang yang mengatakannya atau orang yang melakukannya, siapa ia. Agar orang yang menyelisihi syari’at Rasûlullâh ﷺ, secara lahir atau batin merasa takut (akan ditimpa fitnah/cobaan/musibah), yakni di dalam hati mereka, yang berupa kekafiran, atau kemunafikan, atau bid’ah (atau ditimpa azab yang pedih), yakni di dunia dengan pembunuhan, had (hukuman), penahanan, atau semacamnya”.[16]

Referensi
[16] Imam Al-Hafidz ‘Imadiddin Abi Al-Fidaa Ismail Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al Qur’an Al-‘Adzim, Mesir: Dar ‘Alamiyyah, 2017. Hal. 1133

4.

Mendapatkan Keberuntungan, Kebahagiaan dan Kemenangan

Allah ﷻ berfirman:

إِنَّمَا كَانَ قَوۡلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذَا دُعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَهُمۡ أَن يَقُولُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٥١ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَخۡشَ ٱللَّهَ وَيَتَّقۡهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَآئِزُونَ ٥٢

Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. An-Nur:51-52)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: (mereka) selalu mendengar dan taat. Oleh karena itu Allah mensifati mereka dengan keberuntungan yaitu dapat meraih yang diinginkan dan selamat dari yang dikhawatirkan. “Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan” yaitu mereka meraih kemenangan dengan semua kebaikan dan merasa aman dari segala kejelekan di dunia maupun di akhirat.[17]

Referensi
[17] Imam Al-Hafidz ‘Imadiddin Abi Al-Fidaa Ismail Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al Qur’an Al-‘Adzim, Mesir: Dar ‘Alamiyyah, 2017. Hal. 1127

5.

Mendapatkan Hidayah-Nya Allah

Allah ﷻ berfirman:

قُلۡ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَۖ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّمَا عَلَيۡهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيۡكُم مَّا حُمِّلۡتُمۡۖ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهۡتَدُواْۚ وَمَا عَلَى ٱلرَّسُولِ إِلَّا ٱلۡبَلَٰغُ ٱلۡمُبِينُ ٥٤

Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”. (QS. An-Nur:54)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Katakanlah: “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul” yaitu ikutilah kitabullah dan sunnah rasul-Nya. “dan jika kamu berpaling” yaitu kalian berpaling darinya dan meninggalkan apa yang beliau ajarkan kepada kalian. “maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya” yaitu menyampaikan risalah dan melaksanakan amanah. “dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu” yaitu menerima apa yang Rasul bawa dan mengagungkannya serta melaksanakan konsekuensinya. “Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk” karena Rasul menyeru kepada jalan yang lurus.[18]

Referensi
[18] Imam Al-Hafidz ‘Imadiddin Abi Al-Fidaa Ismail Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al Qur’an Al-‘Adzim, Mesir: Dar ‘Alamiyyah, 2017. Hal. 1128

D.

Keutamaan Bershalawat Kepada Rasulullah ﷺ

Sesungguhnya Allah ﷻ dengan segala kekuasaan-Nya telah mengutus Nabi Muhammad dan telah memberinya kekhususan dan kemuliaan untuk menyampaikan risalah. Ia telah menjadikannya rahmat bagi seluruh alam dan pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa serta menjadikannya orang yang dapat memberi petunjuk ke jalan yang lurus. Maka seorang hamba harus taat kepadanya, menghormati dan melaksanakan hak-haknya. Dan di antara hak-haknya adalah Allah ﷻ mengkhususkan baginya sholawat dan memerintahkan kita untuk itu di dalam kitab-Nya yang agung (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya yang mulia (Hadits). Di mana orang yang yang bersholawat untuknya akan memperoleh pahala yang berlipat ganda, maka sungguh berbahagialah orang yang mendapatkan itu.

Di dalam Al Qur’an Allah ﷻ berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا ٥٦

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. Al-Ahzab:56). Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Maksud ayat ini adalah bahwa Allah ﷻ mengabarkan kepada hamba-hamba-Nya tentang kedudukan hamba dan Nabi Muhammad di sisi-Nya di langit di mana malaikat-malaikat bershalawat untuknya, lalu Allah ﷻ memerintahkan makhluk-makhluk yang ada di bumi untuk bershalawat dan salam untuknya, agar pujian tersebut berkumpul untuknya dari seluruh alam baik yang ada di atas maupun yang ada di bawah.”[19] Shalawat dan salam dalam dogmatika tauhid Rasul merupakan rangkaian utuh yang terarah khusus pada Rasulullah ﷺ. Shalawat disini bermakna pemberian penghormatan sebagai ungkapan rasa takzim akan kemuliaan beliau disisi Allah ﷻ dan keagungannnya dibandingkan semua makhluk. Sedangkan salam disampaikan pada Rasulullah, bermakna bahwa keselamatan itu akan dikembalikan pada kita dalam bentuk syafaat Rasulullah ﷺ pada hari kiamat kelak. Oleh karena itu apabila shalawat yang menyampaikan ucapannya bukan hanya kaum Muslim, namun bahkan Allah, para malaikat dan makhluk pun mengucapkannya kepada sang Rasul akan tetapi ucapan” salam” hanya wajib bagi kaum Mukmin, tidak bagi Allah, malaikat, dan makhluk kepada Nabi Muhammad.[20] Rasulullah ﷺ adalah sebaik-baik makhluk beliau adalah orang yang paling berjasa bagi kita beliau adalah rahmat bagi seluruh alam. Karena dakwah beliau lah kita mengenal islam, karena itu sudah sepantasnya kita berterima kasih kepada Rasulullah ﷺ dengan cara memperbanyak bershalawat kepadanya. Shalawat yang kita baca juga merupakan ungkapan cinta kita kepada Rasulullah. Perlu dipahami bahwa sesungguhnya Rasulullah tidak membutuhkan shalawat kita. Karena Allah telah memberikan derajat yang mulia kepada beliau sebagai kekasih-Nya. Tanpa shalawat dari umatnya pun Rasulullah telah di muliakan oleh Allah. Manfaat dari shalawat yang kita baca akan kembali kepada kita, Allah ﷻ akan melimpahkan keberkahan kepada kita karena kita memuliakan kekasih-Nya. Karena itu mari kita memperbanyak bershalawat kepada Rasulullah ﷺ karena di dalamnya terkandung manfaat dan keberkahan yang besar.[21] Rasulullah ﷺ bersabda:

إذَا سَمِعْتُمُ المُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ مَرَّةً وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا لِي الوَسِيلَةَ فَإنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِي إلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ وَأرْجُو أنْ أكُونَ هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الوَسِيلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَّفَاعَةُ

“Jika kalian mendengar orang yang adzan maka ucapkanlah seperti apa yang ia ucapkan dan bershalawatlah untukku karena barangsiapa yang bershalawat untukku sekali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali, kemudian  mintalah wasilah (kedudukan mulia di surga) untukku, karena ia adalah suatu kedudukan di surga yang tidak pantas diberikan kecuali kepada seorang hamba dari hamba-hamba Allah dan semoga akulah hamba itu, maka barangsiapa yang memohon untukku wasilah maka  ia berhak mendapatkan syafa’at.”  (H.R. Muslim)

Shalawat atas Nabi bukanlah dimaksudkan sebagai sarana untuk mendapatkan ampunan sesudah melakukan tindakan-tindakan buruk. Tetapi maksudnya ialah kembali kepada Allah mempersiapkan diri setelah mengakui dosa-dosa nya untuk memohon ampun. Shalawat atas Nabi merupakan hubungan yang mengikat terhadap hati yang yakin bahwa segala sesuatu itu berada dibawah kekuasaan Sang Pencipta dan tampaklah rahmat-Nya dengan anugerah ampunan-Nya dan keridhaan-Nya. Orang mukmin yang benar imannya, tatkala membacakan shalawat atas Nabi Muhammad ﷺ haruslah menghadirkan hatinya (penuh konsentrasi) dan mengetahui keutamaan diutusnya Rasulullah ﷺ yang mengeluarkannya dari kegelapan (kesesatan) menuju ke cahaya yang terang (petunjuk). Lalu ia menuju kepada Allah Dzat yang mengadakan meminta pertolongan kepada-Nya dan mengharap kekuatan, sesudah berulang-ulang kali membaca Shalawat atas Nabi, sebab dalam shalawat terdapat atas segala kebaikan. Karena itulah kita berdo’a kepada Allah agar kita memperoleh nikmat ridha-Nya dengan berkah Rasul yang agung pemberi syafaat di hari kemudian.[22]

Saat membaca shalawat hadirkan dalam hati keagungan dan kemuliaan Nabi Muhammad ﷺ bayangkan fisik, akhlak dan pribadi Nabi Muhammad ﷺ ingat perjuangan Nabi mendakwahkan islam sehingga islam ada sampai hari ini dan kita menganutnya, ingat besarnya kasih sayang Nabi kepada umat, bacalah shalawat dengan sopan seperti ungkapan terimakasih kepada seorang yang sangat berjasa dalam hidup anda. Shalawat isinya do’a tetapi tidak pantas jika shalawat diniatkan untuk mendo’akan Nabi Muhammad ﷺ kitalah yang butuh bacaan shalawat ini bukan Nabi Muhammad ﷺ. Dengan shalawat kita berharap segala do’a diijabah keinginan di wujudkan shalat diterima dan terutama agar kita diterima sebagai umat Nabi Muhammad ﷺ.[23]

Nabi ﷺ sangat menganjurkan memperbanyak membaca shalawat kepada beliau. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dari ayahnya radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

 قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّي أُكْثِرُ الصَّلاَةَ عَلَيْكَ فَكَمْ أَجْعَلُ لَكَ مِنْ صَلاَتِيْ؟ فَقَالَ: مَا شِئْتَ، قُلْتُ: الرُّبُعَ، قَالَ: مَا شِئْتَ، فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ، قُلْتُ: النِّصْفَ؟ قَالَ: مَا شِئْتَ، فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ، قُلْتُ: فَالثُّلُثَيْنِ، قَالَ: مَا شِئْتَ، فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ، قُلْتُ: أَجْعَلْ لَكَ صَلاَتِيْ كُلَّهَا. قَالَ: إِذًا تُكْفَى هَمَّكَ وَيُغْفَرُ لَكَ ذَنْبُكَ

“Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, aku hendak memperbanyak shalawat kepadamu [5], berapa banyakkah aku harus bershalawat kepadamu? Rasulullah ﷺ menjawab: ‘Berapa saja sekehendakmu.’ Aku katakan: ‘Seperempat?’ Maka Rasulullah ﷺ menjawab: ‘Terserah engkau, dan jika engkau menambahnya, maka itu adalah suatu kebaikan bagimu.’ Aku katakan: ‘Setengah?’ Rasulullah ﷺ menjawab: ‘Terserah engkau, dan jika engkau menambahnya, maka itu adalah sebuah kebaikan bagimu.’ Aku katakan: ‘Dua pertiga?’ Rasulullah ﷺ menjawab: ‘Terserah engkau, dan jika engkau menambahnya, maka itu adalah sebuah kebaikan bagimu. Aku katakan: ‘Aku akan menjadikan shalawat kepadamu seluruhnya.’ Rasulullah ﷺ bersabda: Jika demikian, maka semua keinginanmu terpenuhi dan dosamu akan diampuni.(HR. Tirmidzi)

Imam Ibnu Qoyim menjelaskan makna hadits diatas, dengan perkataannya: ‘Guru kami pernah di tanya (maksudnya Syaikhul Islam) tentang makna hadits ini, lalu beliau mengatakan: ‘Adalah kebiasaan Ubay bin Ka’ab mempunyai do’a yang biasa di gunakan untuk mendo’akan dirinya. Lalu dia bertanya kepada Nabi Muhammad ﷺ, apakah boleh menjadikan seperempat do’anya tersebut digunakan untuk bershalawat kepadanya. Maka beliau mengatakan, bila engkau mau, namun kalau sekiranya ditambah tentu itu lebih baik bagimu. Bagaimana kalau setengah, kalau ditambah lagi tentu lebih baik lagi untukmu. Dan dia masih tetap menawar sampai akhirnya beliau mengatakan, akan aku jadikan seluruhnya untuk bershalawat kepadamu, maksudnya akan aku jadikan do’a ku seluruhnya untuk bershalawat kepadamu. Mendengar hal tersebut maka Nabi ﷺ mengatakan: Jika benar sekiranya demikian, maka sudah cukup apa yang menjadi keinginanmu, dan akan diampuni dosa-dosamu. Karena barang siapa yang bershalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ satu shalawat saja, maka Allah ﷻ akan bershalawat atasnya sebanyak sepuluh kali. Sehingga kalau Allah ﷻ saja telah bershalawat kepadanya maka keinginannya sudah tercukupi dan akan akan diampuni dosa-dosanya. Ibnu Qoyim mengatakan: ‘Kurang lebih demikian makna ucapannya’.[24]

Referensi
[19] Ibid,. Hal. 1273
[20] Muhammad Sholikhin, The Miracle of Shalat, Jakarta: Erlangga, 2011. Hal. 327
[21] Muhammad Syafi’ie El-Bantanie, 40 Amalan Ringan Penghapus Dosa Pendulang Pahala, Jakarta: Graha Pena, 2020. Hal. 69
[22] Achmad Sunarto, Himpunan Shalawat dan Dzikir, Jakarta: Bintang Terang, 2005. Hal. 3
[23] Marfu’ Muhyiddin Ilyas, Rahasia Shalat Khusyuk, Jakarta: Erlangga, 2016. Hal. 101
[24] Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, Jalau Al-Afham fi Fadhli Ashalati wa Assalam ‘Ala Khairil Anam, Jeddah: Dar ‘Alam Alfawaid, 1425. Hal. 76

TEMUKAN KAMI

Phone: +62 821-2299-4182
Email: ma.allathifah@gmail.com

Penulis Artikel:
Ust. Aceng Badruzzaman, S.Pd.I, M.Ag

Di Posting Oleh:
Asep Suhendi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *